Pembelajaran Menulis Dongeng Dengan Menggunakan Media Komik
Pembelajaran Menulis Dongeng Dengan Menggunakan Media Komik
Pengantar
Menulis merupakan Keterampilan bahasa yang kita gunakan untuk
berbagi informasi antara satu manusia dengan manusia lainnya. Dengan menulis
kita dapat membagikan perasaan, pikiran dan ungkapan yang ingin disampaikan
kepada orang lain. Dongeng merupakan sastra dalam bentuk cerita yang sudah ada
sejak zaman dahulu. Dongeng merupakan cerita berisikan nasehat dan wejangan
yang dikemas dengan sebuah tokoh, alur dan unsur sastra lainnya. Dongeng sangat
berguna untuk mengembangkan sikap manusia.
Pengajaran bahasa Indonesia terkait pengajaran menulis dongeng atau cerita perlu dikembangkan dan diterapkan didalam kelas, dengan adanya menulis dongeng siswa mampu mengevaluasi dan berfikir secara kreatif. Siswa mampu mengembangkan segala macam sikap dan logikanya untuk menuliskan sebuah cerita sesuai dengan daya imajinasinya.
Media pembelajaran dongeng dengan menggunakan komik merupakan
cara untuk mengembangkan dan melatih siswa untuk mengembangkan imajinasi. Siswa
dituntun untuk mengembangkan imajinasi dengan menggunkan gambar. Sudut pandang
mereka mengenai sebuah ilustrasi keadaan akan terbantu dengan adanya gambar.
Komik merupakan media untuk mengembangkan daya imajinasi siswa dalam
menghadirkan sebuah imajinasi. Oleh karena itu komik perlu dikembangkan untuk
menciptakan daya imajinasi guna mengoptimalkan pendidikan menulis terutama
menulis dongeng.
1. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari
proses pendidikan. Pendidikan yang dimaksud
dalam Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangs dan
negara. Pendidikan di Indonesia diwujudkan salah satunya dengan pembelajaran di
sekolah. Pujiastuti (2011) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah proses yang di
dalamnya terdapat kegiatan interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar. Guru dan
siswa merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan dalam proses
pembelajaran. Antara dua komponen tersebut harus terjalin interaksi yang saling menunjang agar hasil belajar siswa
dapat tercapai secara optimal (http://www.sd-binatalenta.com/arsipartikel/artikel_tya.pdf).
Pembelajaran bahasa
Indonesia mencakup keterampilan berbahasa dan
bersastra. Pembelajaran sastra Indonesia sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia
Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sejalan dengan
fungsi tersebut, maka dalam lingkup pembelajaran
sastra diharapkan setelah terlibat dalam proses pembelajaran peserta didik mampu menjadi insan berkualitas,
mandiri, dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Untuk sampai pada hal
ideal tersebut, Rahmanto (1988:16) menyatakan bahwa tujuan tersebut dapat dicapai
apabila pengajaran sastra cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu
keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan
cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak.
Fungsi utama sastra adalah untuk penghakusan budi,
peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuh apresiasi budaya,
penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi serta peningkatan ekspresi secara
kreatif dan konstruktif (Suryaman, 2009:44). Namun, pada kenyataannya
pembelajaran sastra mendapat tempat kedua pada pengajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa yang mendapat tempat dominan pada pengajaran bahasa
Indonesia. Pembelajaran sastra dianggap kurang penting, sehingga hanya memiliki
waktu 2-3 jam per minggu. Selain itu, pembelajaran sastra di sekolah kurang
mengarah pada hal-hal yang apresiatif. Hal ini menyebabkan tujuan pembelajaran
sastra tidak tercapai secara maksimal.
Sarwadi (melalui Jabrohim, 1995:144) menyatakan bahwa tujuan
pokok pembelajaran sastra adalah membina apresiasi sastra peserta didik, yaitu
membina agar siswa memiliki kesanggupan untuk memahami, menikmati, dan
menghargai suatu cipta sastra. Pembinaan apresiasi sastra tersebut berusaha
mendekatkan peserta didik kepada sastra, berusaha menumbuhkan rasa peka, dan
rasa cinta siswa kepada sastra sebagai cipta
seni. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran sastra akan membantu
menumbuhkan keseimbangan antara perkembangan berbagai aspek kejiwaan, sehingga
terbentuk suatu kepribadian yang utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada relevansinya, sastra memiliki kaitan dengan masalah-masalah dunia nyata,
maka pengajaran sastra harus kitapandang sebagai sesuatu yang penting yang
patut menduduki tempat yang selayaknya. Apabila pembelajaran sastra dilakukan
dengat tepat, maka pembelajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar
untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terdapat dalam masyarakat
(Rahmanto, 1988:15). Di sisi lain, pembelajaran kegiatan bersastra juga
ditujukan untuk meningkatkan apresiasi terhadap sastra agar siswa memiliki kepekaan
terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan untuk membaca
dan bahkan sampai pada tahap menghasilkan. Dengan demikian, hal ini dapat
meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal
nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, serta terbinanya watak dan kepribadian
(Suryaman, 2009:32). Keterampilan bersastra, khususnya dalam menulis dongeng,
dibutuhkan daya imajinasi untuk menghasilkan tulisan yang menarik dan kreatif.
Dongeng merupakan salah satu jenis sastra lama yang dibangun atas tema, latar,
penokohan, sudut pandang, alur, dan amanat. Dongeng tidak diketahui siapa
pengarangnya dan bersumber lisan generasi ke generasi, namun perlunya dongeng
ditulis kembali agar bisa dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Hal ini
disebabkan nilai-nilai yang terdapat dalam dongeng masih relevan dan bisa
diambil untuk diterapkan dalam kehidupan.
2. Pembelajaran Menulis Dongeng
Menulis merupakan keterampilan yang paling sulit.
Nurgiyantoro (2001:296) mengemukakan bahwa kemampuan menulis biasanya lebih
sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal
ini disebabkan kemampuan menulis memerlukan penguasaan dari berbagai unsur kebahasaan
itu sendiri. Hambatan yang dialami seseorang yang hendak menulis adalah ketika
mengungkapkan ide ke dalam sebuah tulisan pertamanya. Untuk mengatasi hal
tersebut, perlu dilatih secara terus-menerus. Melalui kegiatan menulis,
seseorang dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaan kepada orang lain.
Melalui tulisan pula, seseorang dapat berkomunikasi. Menurut Gie (2002:3) menulis
adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan, menyampaikan
melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menulis berarti
mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan
perasaan. Sarana mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa
itu akan dimengerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang
teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti. Menulis merupakan suatu
representasibagian dari kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Pada prinsipnya
fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung
(Tarigan, 1986:21-22). Melalui menulis, seseorang dapat mengungkapkan gagasan
dan idenya ke dalan tulisan. Menulis juga memiliki peran penting bagi
pendidikan, hal ini disebabkan karena menulis akan memudahkan para siswa
berpikir kritis dan kreatif. Menurut Anne Ahira (2011), menulis kreatif adalah
proses kreatif dalam menulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Orang yang
mempunyai kemampuan dalam menulis kreatif biasanya rajin membaca buku, membaca lingkungan
sebagai ide atau tulisan. Adapula yang menggunakan imajinasi sebagai bahan
menulis (http://www.anneahira.com/menulis-kreatif.htm.). Menulis kreatif juga
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengorganisasikan ide-ide kreatifnya
untuk menyusun menjadi karya yang baik. Supaya kegiatan menulis dapat berjalan
dengan baik seorang guru harus memulainya mengenalkan dengan karya-karya
sastra. Salah satu cara yang baik untuk mendorong siswa berlatih menulis
kreatif adalah dengan memberikan tema yang bersifat umum agar dapat dikembangkan
sendiri oleh para siswa berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka (Rahmanto,
1988:116).
Menulis dongeng merupakan kegitan menulis yang membutuhkan
daya imajinasi serta tingkat kreativitas. Dongeng merupakan salah satu bentuk
karya sastra lama yang paling diminati oleh siswa. Dongeng tidak hanya dapat menghibur,
melalui dongeng siswa juga dapat mengembangkan kreativitas dan imajinasinya.
Menulis dongeng juga merupakan sarana bagi siswa untuk menumbuhkan nilai,
etika, dan rasa empati karena di dalamnya terdapat pesan moral yang mampu
memberikan pelajaran hidup.
3. Proses Kreatif Menulis Dongeng
Tujuan penulisan dongeng pada siswa kelas VII adalah agar
siswa dapat menulis dongeng berdasarkan urutan pokok-pokok cerita. Hal ini
tentu saja membutuhkan daya imajinasi dan kreativitas. Suyanto (2009: 2)
mengungkapkan bahwa menulis merupakan suatu pekerjaan yang berat. Oleh sebab
itu, kemampuan menulis harus selalu dilakukan sejak dini dan dilatih secara
terusmenerus sehingga hal tersebut tidak akan menjadi sesuatu yang berat dan
sulit. Menulis dongeng juga merupakan keterampilan menulis yang tidak mudah. Dalam
proses menulis dongeng, penulis memerlukan motivasi belajar, kepekaan, dan daya
imajinasi. Penguasaan keterampilan menulis dongeng akan membuahkan hasil yang
baik bila disertai dengan membaca dongeng-dongeng yang telah ada. Menurut
Danandjaja (melalui Agus, 2009:12) dongeng merupakan bagian dari cerita rakyat,
yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita. Dongeng tidak
terikat oleh tempatmaupun waktu, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja
tanpa perlu harus ada semacam pertanggungjawaban pelataran. Nurgiyantoro
(2005:199) mengungkapkan bahwa selain berfungsi untuk memberikan hiburan, dongeng juga
merupakan sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat pada masa itu. Di dalamnya dongeng mengandung ajaran moral, sehingga
dongeng merupakan sebuah sarana ampuh untuk mewariskan nilai-nilai. Nurgiyantoro
(2005:200) mengungkapkan bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam dongeng pada
umumnya terbagi menjadi dua macam, tokoh yang berkarakter baik dan buruk. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang wajar untuk cerita lama yang memiliki tujuan
untuk memberikan pesan moral. Dongeng juga sering mengisahkan penderitaan
tokoh. Tokoh baik akan mendapatkan imbalan ataupun sesuatu lainnya yang
menyenangkan, begitu juga sebaliknya, tokoh jahat akan mendapatkan hukuman.
Oleh sebab itu, moral yang terkandung dalam dongeng juga dapat berwujud
peringatan atau sindiran bagi seseorang yang jahat dan berbuat tidak baik.
Menurut Aarne dan Thompson (melalui Agus, 2008: 12), dongeng dikelompokkan
dalam empat golongan besar, yaitu (1) dongeng binatang, merupakan dongeng yang
ditokohi oleh binatang peliharaan atau binatang liar. Binatang-binatang dalam
jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti
manusia. Tokoh binatang tersebut biasanya memiliki sifat
cerdik, licik, dan jenaka, (2) dongeng biasa, merupakan jenis dongeng yang
ditokohi oleh manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang, (3)
lelucon atau anekdot, adalah dongeng yang menimbulkan tawa bagi bagi yang
mendengarkan maupun yang menceritakannya. Meski demikian, bagi masyarakat atau
orang yang menjadi sasaran, hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, (4)
dongeng berumus, adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan.
Dongeng ini ada tiga macam, yaitu dongeng bertimbun (cumulative tales), dongeng
untuk mempermainkan orang (catch tales), dan dongeng yang tidak mempunyai akhir
(endteles tales). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng
adalah pemikiran fiktif dan kisah nyata menjadi suatu alur perjalanan hidup
dengan pesan moral, yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan
mahluk lainnya. Dongeng menghadirkan tokoh sederhana serta cerita yang
mengandung nilai-nilai moral serta memiliki sifat menghibur pembacanya. Dongeng
yang terdiri dari unsur tema, latar, penokohan, amanat, alur, sudut pandang,
dipandang sebagai sarana yang lebih mudah memberikan rangsangan apresiasi
sastra dalam bentuk bacaan. Untuk dapat menulis kreatif dongeng harus didahului
dengan kegiatan membaca ataupun melalui media yang disediakan oleh guru. Hal
ini juga ditunjang proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran akan
berhasil apabila
seorang guru menguasai kemampuan mengajar.
4. Media Pembelajaran Bersastra
a. Pengertian dan Manfaat Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara
harafiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau pengantar. Media merupakan
pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Arsyad, 2002:3). Gerlach
dan Ely (melalui Swandono, 1995:68) mendefinisikan media, yaitu bahan atau
peristiwa-peristiwa yang dipakai untuk menimbulkan kegiatanbelajar mengajar
agar lebih efektif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Gagne dan Briggs
(melalui Arsyad, 2002:4) menyatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang
secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pembelajaran. Dengan kata
lain, media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung
materi instruksional di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk
belajar. Hamalik (melalui Arsyad, 2002: 15) mengemukakan bahwa pemakaian media
pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan
minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan
rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi
terhadapsiswa. Media pengajaran dapat membangkitkan rasa senang dan rasa
gembira bagi para siswa, sehingga media dapat membantu memantapkan pengetahuan
pada benak para siswa serta menghidupkan proses pembelajaran di dalam kelas.
Selain itu, media pengajaran juga dapat membantu siswa dalam meningkatkan
pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran
data, dan memadatkan informasi (Arsyad, 2002:16).
Sujana dan Rivai (2010:2) memaparkan manfaat media pengajaran
dalam proses pembelajaran antara lain; (1) pengajaran akan lebih menarik
perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, (2) bahan
pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para
siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran dengan lebih baik,
(3) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui
penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan
tenaga, (4) siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya
mendengarkan penilaian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan,
mendemonstrasikan, dan lain-lain. Media pembelajaran memiliki banyak manfaat
dalam proses pembelajaran, sehingga penggunaan media pembelajaran sangat
dianjurkan untuk mempertinggi kualitas pembelajaran.
Fungsi media dalam pembelajaran pada umumnya untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi komunikasi dalam proses belajar mengajar
yang terjadi di dalam kelas, agar siswa lebih mudah dalam memahami bahan
pembelajaran yang disampaikan guru maka memerlukan adanya bantuan media sebagai
sarana penunjang. Sujana dan Riva’i (2010:4) menyatakan bahwa penggunaan media tidak
dilihat atau dinilai dari segi kecanggihan medianya, tetapi yang lebih penting adalah
fungsi dan perannya dalam membantu mempertinggi proses pembelajaran. Penggunaan
media akan sangat bermanfaat apabila media yang dipilih berdasarkan kegunaan
sesuai dengan fungsi dan manfaat. Media akan memiliki peran yang sangat besar
dalam prosespembelajaran apabila guru dapat menggunakan media tersebut secara
tepat dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam menentukan media yang akan
digunakan dalam proses pembelajaran, guru hendaknya dapat memilih secara
cermat, hal ini disebabkan setiap media memiliki karakteristik sendiri. Dalam
memilih media untuk kepentingan pengajaran sebaiknya memperhatikan
kriteria-kriteria sebagai berikut; (1) ketepatan dengan tujuan pengajaran,
media pengajaran yang dipilih atas dasar tujuan-tujuan instruksional yang telah
ditetapkan, (2) dukungan terhadap isi bahan pelajaran, (3) kemudahan memperoleh
media, artinya media yang diperlukan mudah diperoleh, setidaknya mudah dibuat
oleh guru, (4) keterampilan guru dalam menggunakannya, apapun jenis media yang
diperlukan syarat utama adalah guru dapat menggunakannya dalam proses
embelajaran, (5) tersedia waktu untuk menggunakannya, sehingga media tersebut
dapat bermanfaat bagi siswa selama pembelajaran berlangsung, (6) sesuai dengan
taraf berpikir siswa, sehingga makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami
oleh siswa. b. Pengertian Media Komik
sebagai Media Pembelajaran Komik berasal dari bahasa Perancis “comique” yang
merupakan kata sifat lucu atau menggelikan.
Comiquesendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu komikos (Nugroho. E,
1990:54). Pada awalnya, komik bersifat humor, lucu, dan menghibur. Namun dalam
perkembangannya, tema yang diangkat semakin meluas sehingga muncul tema-tema
yang bersifatpetualang maupun fantasi. Popularitas komik yang semakin meluas
ini menarik perhatian banyak ahli hingga muncul kecenderungan untuk menyetujui
komik sebagai media komunikasi. Komik merupakan gambar-gambar serta
lambang-lambang lain yang terjukstaposisi dalam turutan tertentu untuk
menyampaikan informasi dan atau mencapai tanggapan estetis dari pembaca (Mc
Clouds, 2008:9). Gambar-gambar dalam komik berbeda dengan buku cerita
bergambar. Peran gambar-gambar pada buku cerita bergambar, bagaimanapun, tetap
“sekedar” sebagai ilustrasi yang lebih berfungsi mengkonkretkan, melengkapi,
dan memperkuat sesuatu yang diceritakan secara verbal, sedangkan gambar-gambar
yang terdapat dalam komik sudah mampu mewakili suatu peristiwa atau rentetan
cerita yang sangat jelas tanpa disertai dengan adanya penjelasan secara verbal.
Komik hadir dengan menampilkan gambar-gambar dalam
panel-panel secara berderet yang disertai balon-balon teks tulisan dan
membentuk sebuah cerita. Dalam kaitan ini sebagai istilah, komik dapat dipahami
sebagai simulasi gambar dan teks yang disusun berderet per adegan untuk
kemudian menjadi sebuah cerita (Rahardian melalui Nurgiyantoro, 2005: 409).
Namun demikian, komik tampil tanpa teks karena gambar dalam komik adalah
bahasanya sendiri, yaitu bahasa komik sebagaimana halnya gambar rekaman pada
pita seluloid dalam film. Gambar dalam komik adalah sebuah penangkapan adegan
saat demi saat, peristiwa demi peristiwa, sebagai representasi cerita yang
disampaikan dengan menampilkan figur dan latar. Gambar-gambar dalam komik dapat
dipandang sebagai alat kominukasi lewat bahasa gambar (Nurgiyantoro, 2005:409).
Komik merupakan suatu bentuk kartun yang mengungkapkan karakter dan memerankan
suatu cerita dalam urutanyang erat dihubungkan dengan gambar dan dirancang
untuk memberikan hiburan kepada para pembaca. Dengan demikian, komik bersifat
humor. Komik memiliki cerita yang ringkas dan menarik perhatian, dilengkapi
dengan aksi. Selain itu komik dibuat lebih hidup dan diolah dengan pemakaian
warna-warna utama secara bebas (Sujana dan Rivai, 2010: 64). Muchlish
(2009:139) mengemukakan tujuan penggunaan komik sebagai media pembelajaran
sebagai berikut; (1) untuk menerjemahkan sumber verbal (tulisan) dan
memperjelas pengertian murid, (2) untuk memudahkan siswa berimajinasi
(membayangkan) kejadian-kejadian yang terdalam gambar, (3) untukmembantu siswa
mengungkapkan ide berdasar gambar narasi yang menyertainya, (4) mengongkretkan
pembelajaran dan memperbaiki kesan-kesan yang salah dari lustrasi secara lisan.
Rohani (1997:79) menyatakan bahwa komik merupakan suatu bentuk bacaan di mana
peserta didik membacanya tanpa harus dibujuk. Melalui bimbingan dari guru,
komik dapat berfungsi sebagai jembatan untuk menumbuhkan minat baca. Sujana dan
Rivai (2010:68) mangemukakan bahwa peran pokok dari buku komik dalam pengajaran
adalah kemampuannya dalam menciptakan minat para siswa, sehingga komik akan
dapat menjadi alat pengajaran yang efektif. Gambar-gambar kartun dalam komik
biasanya memuat esensi pesan yang harus disampaikan dan dituangkan dalam gambar
sederhana dan tmenggunakan simbol serta karakter yang mudah dikenal, juga
dimengerti dengan cepat. Selain itu, pemilihan media komik didasarkan pada
suatu alasan bahwa tujuan mengajar di kelas bukan hanya mentransformasikan
pengetahuan saja, tetapi menumbuhkan peran aktif siswa.
b. Media Komik Tanpa Teks
Kehadiran teks atau kata bukan lagi suatu keharusan dalam
jati diri komik. Penampilan gambar dalam komik adalah unsur yang paling penting
karena sebuah gambar sudah cukup memberi pesan. Nurgiyantoro (2005:407)
mengemukakan bahwa gambar-gambar komik itu sendiri pada umumnya sudah
“berbicara”, dan dibuat menjadi deretan gambar yang menampilkan alur cerita.
Tanpa kata, seseorang sudah bisa menangkap suasana batin tokoh-tokoh yang
ditampilkan melalui gambar. Pernyataan senada diungkapkan oleh McCloud
(2008:8), komik tidak harus mengandung kata-kata. Sementara itu, huruf dalam
sebuah komik disebut oleh McCloud sebagai gambar statis. Huruf-huruf itu akan
menjadi kata bila disusun dalam urutan tertentu dan diletakkan secara
berdampingan. Selebihnya, unsur yang memiliki pengaruh kuat dalam menyampaikan
pesan, informasi, dan cerita dalam komik adalah gambar.
c. Media Komik Tanpa Teks dalam Pembelajaran Menulis Dongeng
Konsep pembelajaran dengan media komik tanpa teks adalah
dengan menyajikan gambar-gambar yang deretan alur cerita namun tidak disertai
dengan teks. Gambar-gambar yang disajikan tentu saja tidak terlepas dari kaidah
komik. Maestro komik Will Einser (melalui McClouds, 2008:7) mengungkapkan bahwa
komik merupakan sebuah seni berurutan. Sebuah gambar-gambar jika dilihat
satupersatu hanya akan menjadi gambar, namun ketika gambar tersebut disusun
secara berurutan, sekalipun hanya terdiri dari dua gambar, maka gambar-gambar
tersebut berubah nilainya menjadi seni komik. Alur cerita yang disajikan dalam
gambar komik tanpa teks akan diperjelas ketika siswa melihat urutan gambar yang
yang terdapat dalam gambar komik tanpa teks. Dengan demikian, siswa dapat mengolah
idenya berdasarkan pada gambar yang telah disediakan. Dalam hal ini, siswa
dituntut memiliki daya imajinasi sehingga dapat menulis dongeng secara kreatif.
Banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari sebuah gambar untuk dijadikan
media pembelajaran yang mampu menarik minat siswa, dengan demikian komik dapat
menjadi media yang tepat untuk menulis dongeng. Dengan media komik tanpa teks, maka akan memudahkan
siswa dalam mengembangkan ide atau imajinasi. Selain itu siswa dapat menyusun
ide-idenya berdasarkan gambar yang tersaji dalam gambar komik tanpa teks, serta
akan menambah kegembiraan dan motivasi dalam pembelajaran menulis dongeng
(Muslich, 2009:139). Melalui gambar komik tanpa teks, siswa akan mudah
menangkap makna yang terkandung di dalamnya sehingga akan membantu siswa dalam menumbuhkan
ide-ide yang kemudiangkan dituangkan dalam bentuk tulisan. Gambar yang tersaji
dalam gambar komik tanpa teks akan memotivasi siswa, sehingga akan memperkaya
inspirasi siswa dalam menuis dongeng. Langkah-langkah yang dilakukan pada pembelajaran
keterampilan menulis dongeng dengan menggunakan media komik tanpa teks adalah
sebagai berikut; (1) guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai,
(2) guru memberikan materi pengantar kepada, (3) siswa dan guru bertanya jawab mengenai
materi yang disampaikan, (4) guru membagikan media komik tanpa teks dan lembar
soal kepada siswa, (5) guru memberikan penjelasan mengenai gambar komik tanpa
teks yang akan digunakan untuk penulisan dongeng, (6) siswa mengamati gambar
komik tanpa teks yang diberikan oleh guru, (7) guru memberi instruksi kepada
siswa untuk megisi soal isian singkat berdasarkan pada media komik tanpa teks
yang telah disajikan (8) siswa menulis dongeng sesuai dengan kreativitas
masing-masing sesuai dengan gambar yang tersaji dalam media komik tanpa teks,
(9) setelah siswa selasai menulis dongeng kemudian melakukan penyuntingan, (10)
siswa dan guru memberikan kesimpulan.
5. Penilaian Pembelajaran Menulis Dongeng
Sebelum dan sesudah guru beserta siswa melaksanakan proses pembelajaran,
hendaknya dilakukan penilaian. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
tujuan yang diinginkan telan tercapai atau belum. Menurut Suyata (2008:2)
istilah penilaian dapat dimaknai sebagai “pemberian nilai”. Penilaian yang digunakan dalam
pembelajaran-pembelajaran di sekolah adalah penilaian berbasis kompetensi.
Penilaian berbasis kompetensi diarahkan untuk menentukan penguasaan siswa atas
kompetensi yang harus dikuasai. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian awal
untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi yang akan dipelajari telah dikuasai
siswa sebelum pembelajaran. Data dapat dilakukan melalui pretestatau tes awal
(Suyata, 2008: 5). Selain itu juga diperlukan posttestatau tes pascatindakan
untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi yang telah dipelajarisisa setelah
pembelajaran. Penilaian otentik adalah
suatu proses kegiatan penilaian yang dilakukan oleh guru untuk memperoleh
informasi atau data yang sebenarnya tentang gambaran perkembangan hasil belajar
siswa. Penilaian otentik adalah suatu penilaian belajar yang merujuk pada
situasi atau kontek “dunia nyata”, yang memerlukan berbagai macam pendekatan
untuk memecahkan masalah yang memberikan kemungkinan bahwa suatu masalah bisa
mempunyai lebih dari satu macam pemecahan. Penilaian otentik tersebut memonitor
dan mengukur kemampuan siswa dalam bermacam-macam kemungkinan pemecahan masalah
yang dihadapi dalam situasi atau konteks dunia nyata.
Dalam suatu proses pembelajaran, penilaian otentik mengukur,
memonitor, dan menilai semua aspek hasil belajar (yang tercakup dalam domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik), baik yang tampak sebagai hasil akhir dari
suatu proses pembelajaran, maupun berupa perubahan dan perkembangan aktivitas,
dan perolehan belajar selama proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas.
Penilaian otentik yang sesuai untuk mengukur kemampuan
menulis dongeng adalah penilaian penugasan (project). Penilaian penugasan atau
penilaian projek merupakan bentuk assesment yang menugaskan siswa untuk
menyelesaikan suatu kegiatan dalam kurun waktu tertentu keterampilan menulis
dongeng. Penilaian projek dapat dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa,
baik individu maupun kelompok dalam melakukan dan memberikan pengalaman pada
suatu topik atau kompetensi tertentu melalui aktivitas berbahasa dan bersastra.
Penilaian projek dapat difokuskan pada dua bagian, yaitu aktivitas siswa selama
proses pembelajaran berlangsung dan pada hasil akhir kegiatan tersebut.
(Kusmana dalam suherlicentre.blogspot.com/2010/07/penilaian-otentik.html).